Oleh: Rudi Agung, Pemerhati masalah-masalah sosial
Joko Widodo Imami Shalat Presiden Afghanistan |
Ramadhan 1439 H sudah berada di penghujung. Sejak awal puasa kegiatan bernuansa agamis menggurita dimana-mana. Dari berbagi takjil di jalan raya sampai varian acara keagamaan di layar kaca.
Di alam demokrasi, momentum keagamaan tidak luput dari bidikan kepentingan politik. Meski upaya-upaya memisahkan agama dengan politik begitu kuat, toh faktanya tetap saja momentum seperti Ramadhan dimanfaatkan untuk agenda politik.
Dari bagi-bagi jadwal Imsak dan berbuka yang disisipi foto anggota legislator plus bendera parpolnya, sampai bagi-bagi sembako dengan tas putih bertuliskan: Istana Kepresidenan Republik Indonesia, Bantuan Presiden RI. Tas putih bertali merah itu dilengkapi logo Istana.
Apakah salah? Sah-sah saja. Tidak ada yang salah dalam berbagi, meski semua dikembalikan pada niatnya. Ada tidaknya kepentingan, itu menjadi urusan yang memberi dengan Sang Maha.
Di tahun politik ini, apapun bisa dikemas. Walau jelas ada larangan money politik, tapi itu hanya berlaku di atas kertas. Di lapangan, kita mudah saksikan kenyataannya. Anda sendiri yang bisa menjawabnya.
Jangankan sembako, fenomena mendadak alim pun sering kita saksikan menjelang hari pemungutan suara. Tak terkecuali jelang Pilpres.
Publik masih ingat bagaimana di tahun 2014, pencitraan dengan kemasan keagamaan menyeruak di layar kaca. Dari umrah sampai menjadi Imam shalat. Begitu pula yang dilakukan Jokowi.
Video Jokowi shalat jamaah, berwudhu, menjadi Imam, beredar luas ketika jelang Pilpres 2014. Meski suara miring begitu nyaring. Semisal cara wudhu salah, bacaan al Fatihah tak sempurna sampai memakai pakaian ihram terbalik.
Belakangan, ketika Jokowi menjadi Imam shalat juga jadi perbincangan. Tentu saja yang diperbincangkan adalah kefasihan dan penguasaannya dalam membaca ayat-ayat.
Tapi, seperti biasanya, tidak lama pembelaan datang. Dari mulai bacaan Jokowi yang lancar sampai lafadz panjang-panjang. Klaim apapun bisa saja dibuat.
Namun, suara keras tetap bermunculan. Tak terkecuali dari MUI. RMOL, edisi 25 Februari 2017, sampai mengangkat judul tegas: Heran, Kok Jokowi jadi Imam Shalat Padahal Bacaan Qurannya Kacau.
Kutipan beritanya: Pengurus MUI Pusat, Anton T. Digdoyo heran kenapa Presiden Joko Widodo kemarin jadi imam shalat jamak qasar selepas salat Jumat di Masjid Al-Fattah, Ambon. Padahal ada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Pasalnya, menurut Anton, Presiden tidak fasih dalam membaca Alquran. Bahkan bisa disebut berantakan.
[ads-post]
"Saya pernah lihat Jokowi jadi imam shalat. Bukan hanya bacaannya kacau, tapi juga gerakan-gerakan shalatnya, tuma'ninah, i'tidalnya pun masih kacau. Maka saya heran kok dia jadi imam shalat padahal disitu ada banyak ulama seperti Pak Din, Menag," jelas Anton saat dihubungi (Sabtu, 25/2). Demikian dilansir RMOL.
[ads-post]
"Saya pernah lihat Jokowi jadi imam shalat. Bukan hanya bacaannya kacau, tapi juga gerakan-gerakan shalatnya, tuma'ninah, i'tidalnya pun masih kacau. Maka saya heran kok dia jadi imam shalat padahal disitu ada banyak ulama seperti Pak Din, Menag," jelas Anton saat dihubungi (Sabtu, 25/2). Demikian dilansir RMOL.
Tahun politik begitu menggelitik. Sampai-sampai tagar #2019gantipresiden dibuat tandingan dengan imbauan bagi yang mudik jangan memakai jalan tol yang dibangun di era Jokowi.
Saya tertawa membaca spanduknya. Logika masyarakat benar-benar dijungkirbalikan di tahun politik ini. Polarisasi pun masih saja kental hanya karena perbedaan pandangan politik.
Nah dibanding sekadar klaim ini klaim itu, di momen Ramadhan sekaligus tahun politik ini, sepertinya ajang yang pas bagi Jokowi untuk setidaknya membuktikan fasih tidaknya membaca Quran. Hal ini bisa memupus keraguan publik.
[next]
Kenapa? Sebab pembuktian ekonomi dan janji-janji lain sudah pupus. Teramat banyak janji yang sulit ditemukan buktinya. Kenyataan justru sebaliknya, seperti September Meroket, faktanya rupiah babak belur, IHSG terperosok, ekonomi rakyat makin hancur.
Paling tidak, Ramadhan ini bisa dijadikan momentum satu pembuktian klaim-klaim yang sebelumnya sering digemborkan. Apalagi Ramadhan ini menjadi tahun politik terakhir bagi Jokowi di tengah derasnya desakan mengganti penguasa untuk 2019.
Tak heran masyarakat pun penasaran dan mendambakan Jokowi bisa menjadi Imam Shalat Taraweh. Mungkin bisa dilakukan di Masjid Istiqlal dan disiarkan secara langsung di televisi nasional.
[post_ads_2]
Syukur-syukur bisa ikut menjadi Imam Qiyamul lail, mumpung telah masuk 10 Ramadhan terakhir. Barangkali publik bisa mendengarkan lantunan dari bibir pak Jokowi surat-surat panjang yang indah. Semisal Ar Rahman, Al Mulk, Al Waqiah atau surat lain.
Ah, bahagia sekali jika keinginan publik ini bisa direalisasikan. Umat Muslim pun tidak ragu lagi terhadap bacaan Quran seorang Jokowi, tentu dengan bukti seperti menjadi Imam shalat Taraweh misalnya.
Bukankah ini kesempatan emas bagi Jokowi untuk memberi bukti? Pada akhirnya, ke depan, tidak perlu lagi ada aneka pencitraan yang membonceng agama. Mari kita nantikan pak Jokowi menjadi imam shalat Taraweh. Kira-kira berkenan kah, Pak?#DukungJokowijadiImamTaraweh.