Iklan

iklan

The Act Of Killing | Kisah Pembantaian PKI Yang Menuai Kontroversi

Rabu, 31 Oktober 2012 | 09.34 WIB Last Updated 2012-12-22T07:58:41Z
Sebuah film baru,besutan Joshua Lincoln Oppenheimer Sutradara dari Texas-AS yang bermukim di London  dengan judul The Act of Killing, sebuah film dokumenter menampilkan pengakuan seorang algojo PKI, pasca 1965.Anwar Congo.

Ditengah maraknya kontroversi peredarannya, malah film ini sukses setelah diputar di Telluride Film Festival (AS) dan Toronto International Film Festival (Kanada), film The Act of Killing telah menjangkau secara luas dan sambutan hangat atas film ini berkembang lebih besar dari yang pernah diharapkan. The Act of Killing adalah film terbaik dan paling mengerikan di Festival Film Toronto tahun ini, setiap bingkainya menakjubkan," tulis The Guardian English.
Dan mulai  7 November mendatang di Denmark. Film ini diputar pada event besar di 56 kota Denmark serta di 60 bioskop di Denmark. Setelah penayangan film ini, penonton diundang untuk berpatisipasi langsung untuk menghadiri sesi tanya jawab.
Di Denmark film The Act of Killing juga disebut dengan judul Free Men. Pemutaran film diselenggarakan di bawah Doxbio, platform dokumenter khusus yang tersebar di Denmark.


Banyak pembaca dan pecinta film di beberapa negara, seperti di Belanda dan Inggris, menunggu pemutaran film tersebut. Demikian pula masyarakat di Indonesia. Mereka menunggu kapan film itu akan masuk dan diputar. Manajemen The Act of Killing mengatakan film itu bisa diputar gratis dan bebas untuk orang Indonesia.

Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Aktor utama Anwar Congo merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Semula film yang dimainkannya itu berjudul Arsan & Aminah.


Selain itu, hingga kini ia belum menonton hasil final film The Act of Killing itu.  
The Act of Killing merupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film  Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah.
Lewat  The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan.
“Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu (26/9) lalu.

Anwar Congo yang menjadi Pemeran Utama  mengatakan, saat pertama membuat film itu, Sang Sutradara mengaku bahwa film ini dibuat hanya untuk tesis, tidak untuk dipublikasikan. Namun ternyata Film tersebut diputar di Festival Film Toronto Kanada.


Menurut dia, Act of Killing mendiskreditkan PP. Dia pun tidak ingin film itu diputar di Sumut. “Terus terang saya keberatan dan menganggap film itu tidak berimbang, karena hanya mengisahkan korban dari Partai komunis saja, tidak mengisahkan korban dari pihak lain.
Kalau disetujui kita akan buat film tandingan dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya,” katanya. Sementara itu Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya.
Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. 


Film dokumenter The Act Of Killing melewati proses pembuatan selama 7 tahun. The Act Of Killing bercerita tentang  kasus pembantaian massa Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatra Utara 1965 silam.

Anwar Kongo , tokoh utama pada film itu, merupakan lakon asli pembantai ratusan anggota PKI di Sumut.

Sebelum menjadi algojo, Anwar merupakan seorang preman pasar. Kehidupannya berubah pada 1965, saat tentara merekrutnya sebagai pasukan berani mati.

Kiprahnya sebagai pasukan berani mati cepat teruji. Apalagi, sebagai preman, Anwar telah akrab dengan dunia kekerasan dan kejahatan jalanan.

Alhasil, bersama tentara, rasa kebencian Anwar terhadap komunis pun kian berkobar. Ia pun tak segan untuk membunuh bahkan membakar para komunis dengan tangannya sendiri.

Tak ada raut menyesal ketika membunuh. Anwar bersama rekan-rekannya bahkan tampak puas dalam menjalankan aksinya. 
Berbagai cuplikan yang ditampilkan dalam film, mengungkapkan kembali bagaimana Anwar Congo menggunakan kawat sebagai senjata andalan yang digunakan dalam pembantaian. 

Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.


 Trailer Film The Act Of Killing


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • The Act Of Killing | Kisah Pembantaian PKI Yang Menuai Kontroversi

Trending Now

Iklan

iklan