VIVAnews - Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menilai, perempuan Indonesia saat ini megalami kemunduran idealisme dalam berpolitik.
Hal ini diungkapkan Megawati saat menjadi pembicara dalam seminar "The Role of Women in Politics" di Universitas Innsbruck, Austria, Selasa, 15 Mei 2012.
Pada kesempatan tersebut, Megawati menyampaikan bahwa tantangan perempuan Indonesia adalah bagaimana menjadikan politik sebagai sebuah gerakan bagi Indonesia dan kemanusiaan yang lebih baik.
"Membangun kembali kesadaran politik kaum perempuan Indonesia untuk berani memilih jalan politik. Hal ini tidaklah mudah. Justru dalam era modern seperti ini, pilihan politik bagi perempuan tampak adanya kemunduran dari aspek idealisme. Lebih-lebih sebagai sebuah gerakan," ujar Megawati dalam siaran pers yang dikirim Bidang Kesekretariatan DPP PDI Perjuangan kepada VIVAnews.
Selain itu, menurut Megawati, keterlibatan kaum perempuan dalam politik justru kembali dibatasi. Bahkan banyak diantaranya yang tidak bisa aktif hanya karena alasan sederhana, yakni tidak diizinkan oleh suaminya.
Situasi perempuan Indonesia saat ini, katanya, sangat berbeda dengan pengalaman di beberapa negara di Eropa. Dimana pemenuhan hak-hak politik perempuan dilakukan secara incremental, bertahap dan melalui perjuangan yang keras.
"Perempuan Inggris menikmati hak pilih sedikit lebih awal dari perempuan Amerika, yakni 14 Desember 1818 menyusul pemilu pertama di bawah undang-undang baru, yakni the Representation of the People Act, 1918. Sementara di Indonesia, hak pilih bagi perempuan dijamin kontitusi sejak lahirnya Indonesia modern," mantan Presiden itu menjelaskan.
Hal ini, menurut Megawati, tidak berarti bahwa perempuan Indonesia tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan sebagaimana dialami banyak perempuan di dunia. Dia mencermati bahwa dalam bidang politik persoalan rendahnya partisipasi dan representasi kaum perempuan, terutama di lembaga-lembaga publik, termasuk di parlemen merupakan masalah serius di Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, persoalan kualitas partisipasi dan representasi yang rendah merupakan bagian dari persoalan demokrasi Indonesia yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan bukan merupakan persoalan perempuan semata-mata.
"Masih banyak kelompok dalam masyarakat Indonesia dihadapkan pada kedua persoalan ini. Kaum petani dan nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama seriusnya dengan kaum perempuan. Demikian pula dengan kaum buruh," katanya.
Karenanya, persoalan partisipasi dan representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda politik kolektif sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender.
"Saya boleh jadi keliru. Tetapi itulah yang selama ini saya rasakan," ucapnya.