Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas sangat penting di saat lembaga lain tidak mampu menumpas korupsi. Lembaga lain lebih banyak bermain, tetapi KPK sungguh menjadi harapan memberangus para penilep uang rakyat.
Dengan kata lain, negara ini membutuhkan lebih banyak lagi lembaga semacam KPK karena koruptor terus beranak-pinak. Mereka menggurita memasuki seluruh sendi dan relung institusi negara.
Maka ketika terjadi berbagai upaya DPR membonsai KPK lewat banyak cara, sungguh menyedihkan. Mengapa DPR yang seharusnya mendukung proses pemberantasan korupsi malah terus saja tiada henti berupaya menumbangkan KPK. Salah satu cara melumpuhkan KPK dengan membentuk Pansus KPK. Seperti biasa, DPR tidak pernah mendengarkan suara rakyat, maka meski banyak ditolak, pansus tersebut terbentuk juga dengan pemaksaan diri karena malu kalau tidak terbentuk.
Heboh pansus tambah tak terkendali ketika seorang Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Aris Budiman, nyelonong memenuhi panggilan pansus, meskipun jelas-jelas institusi tempat bekerjanya melarang. KPK tidak mengakui pansus, sehingga menyatakan tidak akan meluluskan permintaan pansus terkait penyidikan.
Alasan Aris bahwa kehadirannya atas nama pribadi, rasanya tidak tepat. Sebab begitu seseorang menjadi pejabat, sebenarnya atribut bernama pribadi, sudah hilang. Dia menjadi milik publik, tidak bisa lagi mengataskanamakan pribadi. Demikian juga dengan Aris, begitu berada di KPK, apalagi menjabat selevel direktur, jelas tidak bisa mengatasnamakan pribadi. Dia hadir tidak bisa dalam kapasitas pribadi. Inilah yang sering tidak dipahami para pejabat. Begitu menjadi pejabat, ya tidak lagi boleh mengatasnamakan pribadi.
Pengamat dari Padang menilai kehadiran Aris ke pansus untuk kepentingannya sendiri. Dia mau mencari dukungan DPR untuk kasusnya. Memang nama Aris disebut-sebut dalam persidangan mantan anggota DPR, Miryam S Haryani, pemberi keterangan palsu dalam kasus korupsi e-KTP. Dalam video yang diputar di persidangan, terungkap ada sejumlah penyidik bertemu anggota Komisi III DPR di luar pemeriksaan. Salah satunya Aris. Selain itu, melalui video pemeriksaan Miryam itu disebutkan pula Aris menerima uang dua miliar rupiah. Itulah dugaan pengamat dari Padang tadi bahwa kehadiran Aris di pansus untuk mencari dukungan.
[ads-post]
Konflik dengan penyidik Novel Baswedan telah mendorong Aris ke pansus. Tak pelak hal ini menimbulkan keresahan di dalam internal KPK. Kasus akan semakin ramai bila polisi melanjutkan laporan Aris dan menjadikan Novel tersangka. Masyarakat pegiat antikorupsi menilai laporan Aris janggal. Hal itu mestinya diselesaikan secara internal, tidak perlu melaporkan ke polisi.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga perlu tegas dalam kisruh bawahannya ini, jangan sampai meluas. Apalagi dalam sebuah online ditulis bahwa Novel atas nama pegawai KPK menolak terhadap penyidik senior dari Polri yang akan ditempatkan di KPK.
Menurut Novel, wadah pegawai KPK menolak karena Aris selalu menghalangi pemeriksaan sejumlah oknum Polri yang tersangkut dalam kasus yang sedang ditangani KPK. Jadi e-mail Novel ke Aris yang menjadi dasar pelaporan ke polisi atas nama wadah pegawai KPK, bukan Novel pribadi. Kapolri harus menghentikan kasus ini agar ikut serta menjaga ketenangan, sehingga KPK tidak gaduh. Sebab jika konflik berkepanjangan akan sangat merugikan rakyat karena koruptor tertawa-tawa.
Kapolri juga proaktif menelusur, benar tidaknya pernyataan Novel, sejumlah oknum Polri yang mau diperiksa terus dihalangi. Masyarakat menunggu totalitas Jenderal Tito untuk benar-benar membersihkan institusi Polri dari gaya lama seperti itu, saling melindungi. Tito harus lebih memperlihatkan, ada revolusi perbaikan dalam institusi Polri selama dia pimpin. Caranya, bongkar yang menghalangi pemeriksaan oknum Polri. Beranikah Kapolri?
Gedung KPK Pusat |
Maka ketika terjadi berbagai upaya DPR membonsai KPK lewat banyak cara, sungguh menyedihkan. Mengapa DPR yang seharusnya mendukung proses pemberantasan korupsi malah terus saja tiada henti berupaya menumbangkan KPK. Salah satu cara melumpuhkan KPK dengan membentuk Pansus KPK. Seperti biasa, DPR tidak pernah mendengarkan suara rakyat, maka meski banyak ditolak, pansus tersebut terbentuk juga dengan pemaksaan diri karena malu kalau tidak terbentuk.
Heboh pansus tambah tak terkendali ketika seorang Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Aris Budiman, nyelonong memenuhi panggilan pansus, meskipun jelas-jelas institusi tempat bekerjanya melarang. KPK tidak mengakui pansus, sehingga menyatakan tidak akan meluluskan permintaan pansus terkait penyidikan.
Alasan Aris bahwa kehadirannya atas nama pribadi, rasanya tidak tepat. Sebab begitu seseorang menjadi pejabat, sebenarnya atribut bernama pribadi, sudah hilang. Dia menjadi milik publik, tidak bisa lagi mengataskanamakan pribadi. Demikian juga dengan Aris, begitu berada di KPK, apalagi menjabat selevel direktur, jelas tidak bisa mengatasnamakan pribadi. Dia hadir tidak bisa dalam kapasitas pribadi. Inilah yang sering tidak dipahami para pejabat. Begitu menjadi pejabat, ya tidak lagi boleh mengatasnamakan pribadi.
Pengamat dari Padang menilai kehadiran Aris ke pansus untuk kepentingannya sendiri. Dia mau mencari dukungan DPR untuk kasusnya. Memang nama Aris disebut-sebut dalam persidangan mantan anggota DPR, Miryam S Haryani, pemberi keterangan palsu dalam kasus korupsi e-KTP. Dalam video yang diputar di persidangan, terungkap ada sejumlah penyidik bertemu anggota Komisi III DPR di luar pemeriksaan. Salah satunya Aris. Selain itu, melalui video pemeriksaan Miryam itu disebutkan pula Aris menerima uang dua miliar rupiah. Itulah dugaan pengamat dari Padang tadi bahwa kehadiran Aris di pansus untuk mencari dukungan.
[ads-post]
Konflik dengan penyidik Novel Baswedan telah mendorong Aris ke pansus. Tak pelak hal ini menimbulkan keresahan di dalam internal KPK. Kasus akan semakin ramai bila polisi melanjutkan laporan Aris dan menjadikan Novel tersangka. Masyarakat pegiat antikorupsi menilai laporan Aris janggal. Hal itu mestinya diselesaikan secara internal, tidak perlu melaporkan ke polisi.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga perlu tegas dalam kisruh bawahannya ini, jangan sampai meluas. Apalagi dalam sebuah online ditulis bahwa Novel atas nama pegawai KPK menolak terhadap penyidik senior dari Polri yang akan ditempatkan di KPK.
Menurut Novel, wadah pegawai KPK menolak karena Aris selalu menghalangi pemeriksaan sejumlah oknum Polri yang tersangkut dalam kasus yang sedang ditangani KPK. Jadi e-mail Novel ke Aris yang menjadi dasar pelaporan ke polisi atas nama wadah pegawai KPK, bukan Novel pribadi. Kapolri harus menghentikan kasus ini agar ikut serta menjaga ketenangan, sehingga KPK tidak gaduh. Sebab jika konflik berkepanjangan akan sangat merugikan rakyat karena koruptor tertawa-tawa.
Kapolri juga proaktif menelusur, benar tidaknya pernyataan Novel, sejumlah oknum Polri yang mau diperiksa terus dihalangi. Masyarakat menunggu totalitas Jenderal Tito untuk benar-benar membersihkan institusi Polri dari gaya lama seperti itu, saling melindungi. Tito harus lebih memperlihatkan, ada revolusi perbaikan dalam institusi Polri selama dia pimpin. Caranya, bongkar yang menghalangi pemeriksaan oknum Polri. Beranikah Kapolri?