Hari Kemerdekaan RI yang berbarengan bulan Ramadhan 1433 H seolah menjadi berkah bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di seluruh Indonesia, termasuk di Kaltim. Pasalnya, Kementerian Hukum dan HAM memberikan dua kali remisi atau pengurangan masa hukuman sekaligus, yakni remisi 17 Agustus dan remisi khusus Idul Fitri bagi narapidana yang Islam.
Penyerahan remisi bagi narapidana di Kaltim dipimpin oleh Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak, melalui upacara di halaman Lapas Kelas II A Samarinda, Kamis (16/8) pagi. Prosesinya didahului penyerahan berkas remisi secara simbolis oleh Kakanwil Kemenkumham Kaltim, Adjie Indra kepada Gubernur Faroek, untuk diserahkan ke WBP penerima remisi.
WBP Kaltim yang mendapat remisi 17 Agustus sebanyak 1.577 orang, dan 94 di antaranya bebas langsung dengan pengurangan masa hukuman mulai 1 -- 6 bulan. Sedang tahanan atau narapidana yang remisi khusus Idul Fitri sebanyak 1.318 orang, dan 24 di antaranya langsung bebas dengan pengurangan masa tahanan antara 15 hari hingga 3 bulan.
Gubernur Faroek sendiri menyampaikan selamat kepada mereka yang mendapat resmi, terlebih bagi mereka yang remisi bebas. Ia yang mewakili Menkumham, Amir Syamsuddin menyebut, pemberian remisi sebagai bentuk perlakuan manusiawi kepada pelanggar hukum guna memenuhi kewajiban sebagai bangsa yang beradab.
“Keberadaban kita sebagai sebuah bangsa bisa dilihat dari sejauh mana mampu memberikan perlakuan bagi pelanggar hukum sebagai bagian dari warga negara yang tetap memiliki hak-hak yang mesti dihormati dan dipenuhi berdasarkan penghormatan terhadap hak dan martabat kemanusiaan,” katanya.
Menurut dia, salah satu hak pelanggar hukum atau WBP itu adalah mendapatkan remisi sebagaimana diatur pasal 14 ayat (1) UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sedang jika dilihat falsafah pemasyarakatan, remisi bagi narapidana sebagai upaya untuk sesegera mungkin mengintegrasikan mereka dalam kehidupan masyarakat secara sehat.
Pemberian remisi juga sebagai upaya menghindarkan dampak buruk dari pemenjaraan. Diakui atau tidak, ujarnya, sistem pemenjaraan berdampak buruk terhadap setiap orang yang menerima. Namun, pemberian remisi ini juga jangan diartikan sebagai upaya “memanjakan” WBP atau napi, melainkan yang perlu dipahami mendalam adalah dari sisi rasa kemanusiaannya.
Pemberian remisi merupakan wujud kepedulian untuk menjaga agar WBP tetap menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang menjaga integralitas hidup, kehidupan, dan penghidupan. “Maknanya adalah mendorong agar WBP mampu meningkatkan kualitas diri sebagai hamba Allah, Tuhan YME, dengan memperbaiki kualitas hubungan sosial sebagai anggota masyarakat, dan mampu menjalankan tanggung jawabnya dalam kehidupan keluarganya,” katanya.
Sementara Adjie Indra mengatakan, pemberian remisi merupakan upaya negara untuk menyegarkan integrasi WBP dalam kehidupan masyarakat secara sehat dan normal. “Oleh sebab itu, remisi jangan diartikan sebagai upaya memberikan kemudahan atau melemahkan hukum itu sendiri,” katanya.
Menurut dia, pemberian remisi harus memenuhi dua syarat, yakni subnatif dan administrtaif. Syarat subnatif, urainya seperti berkelakuaan baik selama minimal enam bulan di lapas maupun rutan. Sedang syarat administrasi salah satunya sudah menjalankan pidana minimal selama enam bulan.
Penyerahan remisi bagi narapidana di Kaltim dipimpin oleh Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak, melalui upacara di halaman Lapas Kelas II A Samarinda, Kamis (16/8) pagi. Prosesinya didahului penyerahan berkas remisi secara simbolis oleh Kakanwil Kemenkumham Kaltim, Adjie Indra kepada Gubernur Faroek, untuk diserahkan ke WBP penerima remisi.
WBP Kaltim yang mendapat remisi 17 Agustus sebanyak 1.577 orang, dan 94 di antaranya bebas langsung dengan pengurangan masa hukuman mulai 1 -- 6 bulan. Sedang tahanan atau narapidana yang remisi khusus Idul Fitri sebanyak 1.318 orang, dan 24 di antaranya langsung bebas dengan pengurangan masa tahanan antara 15 hari hingga 3 bulan.
Gubernur Faroek sendiri menyampaikan selamat kepada mereka yang mendapat resmi, terlebih bagi mereka yang remisi bebas. Ia yang mewakili Menkumham, Amir Syamsuddin menyebut, pemberian remisi sebagai bentuk perlakuan manusiawi kepada pelanggar hukum guna memenuhi kewajiban sebagai bangsa yang beradab.
“Keberadaban kita sebagai sebuah bangsa bisa dilihat dari sejauh mana mampu memberikan perlakuan bagi pelanggar hukum sebagai bagian dari warga negara yang tetap memiliki hak-hak yang mesti dihormati dan dipenuhi berdasarkan penghormatan terhadap hak dan martabat kemanusiaan,” katanya.
Menurut dia, salah satu hak pelanggar hukum atau WBP itu adalah mendapatkan remisi sebagaimana diatur pasal 14 ayat (1) UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sedang jika dilihat falsafah pemasyarakatan, remisi bagi narapidana sebagai upaya untuk sesegera mungkin mengintegrasikan mereka dalam kehidupan masyarakat secara sehat.
Pemberian remisi juga sebagai upaya menghindarkan dampak buruk dari pemenjaraan. Diakui atau tidak, ujarnya, sistem pemenjaraan berdampak buruk terhadap setiap orang yang menerima. Namun, pemberian remisi ini juga jangan diartikan sebagai upaya “memanjakan” WBP atau napi, melainkan yang perlu dipahami mendalam adalah dari sisi rasa kemanusiaannya.
Pemberian remisi merupakan wujud kepedulian untuk menjaga agar WBP tetap menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang menjaga integralitas hidup, kehidupan, dan penghidupan. “Maknanya adalah mendorong agar WBP mampu meningkatkan kualitas diri sebagai hamba Allah, Tuhan YME, dengan memperbaiki kualitas hubungan sosial sebagai anggota masyarakat, dan mampu menjalankan tanggung jawabnya dalam kehidupan keluarganya,” katanya.
Sementara Adjie Indra mengatakan, pemberian remisi merupakan upaya negara untuk menyegarkan integrasi WBP dalam kehidupan masyarakat secara sehat dan normal. “Oleh sebab itu, remisi jangan diartikan sebagai upaya memberikan kemudahan atau melemahkan hukum itu sendiri,” katanya.
Menurut dia, pemberian remisi harus memenuhi dua syarat, yakni subnatif dan administrtaif. Syarat subnatif, urainya seperti berkelakuaan baik selama minimal enam bulan di lapas maupun rutan. Sedang syarat administrasi salah satunya sudah menjalankan pidana minimal selama enam bulan.